Selasa, 28 Juli 2009

Aku Puisi, Aku Sastra


Aku Puisi, Aku Sastra

“Segugus kata yang bercahaya, pastilah tidak tercipta dari ruang hampa atau menetes begitu saja dari angkasa, melainkan itu adalah buah peluh pertemuan dan kejadian” (Warih Wisatsana dalam Ikan Terbang Tak berkawan)

Tentang hal ini saya mau percaya, betapa sebuah kata tidak menjadi indah dengan sendirinya, kata hadir melewati renungan, lamunan, pengalaman dan juga pertautan dengan kata lain. Tapi tentu saja sebagai pemula dalam dunia penulisan ada yang mesti saya eksplorasi, tak mesti patuh pada aturan aturan baku dalam sastra yang berkembang agar kebakuan tak menjadi pemasung lahirnya kreativitas baru.

Yang menyenangkan bagi saya, mungkin juga penulis lain dalam menulis puisi atau apapun, adalah ketika saya terkejut menemukan sebaris kata atau metafora yang tiba-tiba muncul tidak terduga. Hadir utuh berdampingan dengan kata-kata lain.

Pada satu perbincangan tentang sastra antara saya dan teman yang juga baru mulai menulis, hadir kebekuan pada definisinya yang sangat luas, membuat saya kembali berpikir akan banyak hal tentang sastra, apakah arti sastra dalam bahasa Indonesia sama dengan sastra dalam bahasa Inggris? Apakah semua tulisan bisa disebut karya sastra? Mana yang lebih luas sastra atau budaya?

Dari beberapa buku yang saya baca, Sastra telah ada sejak lama, dan menjadi bagian dari budaya yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Sastra yang memuat materi yang tinggi dipelihara secara turun-temurun oleh para pujangga, banyak yang secara lisan karena pada masa itu media tulisan sangat terbatas, hanya daun lontar.

Secara etimologis sastra berasal dari bahasa sansekerta, dari kata sas yg berarti mengarahkan,mengajar ataupun memberi petunjuk sedangkan tra berarti alat untuk mengajar. Sedangakan secara harfiah berarti huruf,tulisan atau karangan. Kemudian Ditambahkan imbuhan su, yang dalam bahasa jawa berarti indah baik isinya atau juga bahasanya.

Walau dengan berkembangnya peradaban, definisi Sastra telah mengalami perubahan dan penyempitan arti, “Kebanyakan kaum awam menganggap sastra hanyalah ilmu yang mengurusi kesusastraan saja. Padahal arti sastra sesungguhnya itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan secara luas, yang mana bahasa termasuk didalamnya.

Meskipun pengkajian sastra mengarahkan kita untuk dapat menilai berdasarkan sebuah perangkat teori, namun kemampuan seseorang dalam menelaah, mengapresiasi, mengkritisi, atau bahkan menghakimi sebuah karya sangat beragam. Mengapa? Hal ini dikarenakan sebuah karya sastra tidak hanya melibatkan pemikiran akademis tentang kata-kata yang digunakan, namun juga melibatkan imajinasi, kepekaan perasaan, dan banyak faktor batin lainnya. Terlebih apabila kita berbicara tentang puisi.

Pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya hingga sekarang, sampai saya berani mendefinisikan sastra untuk saya pribadi, tak banyak yang saya ketahui tentang sastra, saya cinta puisi, saya menulis puisi, dan saya yakin puisi adalah bagian yang juga berkait erat dengan sastra.

Karena menurut saya, sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Karena tulisan adalah media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk media tulisan, dalam media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya arsitektur, tapi entah mengapa saya lebih nyaman mencurahkannya dalam bentuk puisi, Aku Puisi, Aku Sastra.




arraya_san@yahoo.com

Bukan Dewi Malam


* Bukan Dewi Malam

Duhai para peri dibalik dinding-dinding puri,

Kau dengar teriakku,

Bawa cawancawan penuh bisa itu kemari

Bawa kepadaku.

Hanya kepadaku.

Biar Kureguk hingga tandas.

Seiring kepergiannya yang naas

Seiring cintaku yang kandas.

Yang tertulis di tengah nash-nash.

Seiring udara yang tak lagi bisa buatku bernafas!

Kenapa langit begitu kelam?

tak terdengar jua nyanyian alam.

Dan kau,

Yang pergi setelah menyanjungku dengan panggilan “Dewi Malam-mu”

Dan aku tau.

aku bukan!!