Jumat, 07 Agustus 2009

SOSIAL


Keluarga Sakinah, Hubungan Yang Tanpa Kekerasan

By Yhaya Alie

Beberapa waktu lalu saya menghadiri prosesi pernikahan seorang keluarga, petugas KUA selaku pejabat Negara yang mensyahkan hubungan pernikahan mereka berpesan kepada keduanya untuk senantiasa saling menghormati, memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing, suami mencari nafkah sedangkan istri mengurus rumah tangga, ia menegaskan bahwa agama merupakan syarat utama membangun keluarga sakinah, mawaddah, warohmah. Dengan mengutip rumusan fiqh yang menjadi basis teologis keluarga islami –( Nikahilah wanita, karena empat hal; ekonomi, status social, kecantikan dan agamanya. Tetapi hendaklah kamu menikahi seseorang karena agamanya) tapi benarkah agama adalah factor utama terbangunya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah?

Impresi ini muncul mengamati dua fenomena yang biasa terjadi dalam masyarakat kita; pertama, banyak diantara kita menikahi orang yang seagama, hanya karena menganut agama yang sama Bahkan bagi mereka yang berduit berusaha untuk menikah di tanah suci agar lebih sakral. namun dalam perjalanan waktu banyak yang gagal mempertahankan perkawinan. Mereka sering bertengkar baik karena ketidakcocokan maupun karena kehadiran orang ketiga (entah pacar gelap, PIL, WIL, atau apalah namanya). Mungkinkah disebut keluarga sakinah, jika suatu hubungan sarat dengan kekerasan dan perselingkuhan??

Sebaliknya kedua, tidak sedikit dari pasangan yang menikah beda agama, nyatanya bisa solid, kompak dan abadi bahkan kala sang maut memisahkan, mereka saling mencintai, memahami sehingga dapat mensikapi perbedaan secara wajar dan tidak terpaku pada kelemahan masing-masing. Terlebih mereka sukses secara ekonomi dan dalam karir. Tidakkah fakta ini menjadi bukti bahwa keluarga sakinah tidak mesti seiman seagama?!

Beranjak dari sini, saya mencoba memeriksa wacana keluarga sakinah yang dikhotbahkan penghulu ketika mengikat dua sejoli, Untuk tidak dikatakan “merantai” dalam sebuah perjanjian suci, saya artikan perjanjian suci bukan kontrak social, karena akad nikah selalu dibawakan dengan kata “mitsaqan ghalidha” yang dalam Al-Qur’an berarti perjanjian suci Allah dengan para Rasul. Rantai filisofisnya, menikah adalah perjanjian tuhan dengan manusia (sakramen), maka orang yang menerima hal ini bertanggung jawab mengamalkan risalah Tuhan, dalam hal ini risalah tentang kasih dan perdamaian. Untuk membebaskan suami istri dari ketidakadilan.

Bagaimana patutnya wacana sakinah diinterpretasikan dalam konteks kekinian? Pertanyaan diatas penting diajukan terutama berkaitan dengan lahirnya UU KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) yang oleh kelompok tertentu dianggap menyalahi Syari’ah (praktek poligami). Sementara yurisprudensi islam (Fiqh) yang berfungsi menderivasi hokum dari wahyu ke dalam term-term yang lebih spesifik sesuai konteks sosio cultural yang mestinya bicara banyak tentang KDRT. Kenyataanya tidak bicara apa-apa. Ia betah berkubang dengan aturan abad ke VII yang menghukum istri bila menolak hasrat suami, melarang istri keluar rumah tanpa izin suami dan seterusnya. Padahal, kekerasan domestic kerap bermuara dari hubungan yang tidak egaliter antara laki-laki dan perempuan dimana satu pihak mendominasi pihak lainnya.

Sakinah; Pisau Bermata Dua?

Kata sakinah (sikkin;Arab) secara litere berarti pisau tajam mengkilap yang digunakan untuk menyembelih binatang, agar yang disembelih tidak berlama-lama merasakan sakit. Secara definitive berarti kondisi ketentraman seseorang yang dilanda berbagai kecemasan, hasrat seksual, nafsu emosi dan bahkan ketidakpastian berujung pada sakinah, yaitu ketenangan karena adanya pernikahan. Pertanyaanya, kenapa harus dengan pernikahan? Bukankah soal biologis bisa diatasi dengan mengorganisasikan kinerja otak. Otaklah yang memerintah tubuh untuk tidak memikirkan rasa sakit, haus, lapar, ngantuk dan hasrat seksual.

Persoalannya bukan sekedar pemenuhan kebutuhan biologis, secara psikologis seorang butuh mengapresiasikan cinta, kehidupan tidak akan bermakna sedikitpun. Manusia memerlukan cinta, karena cinta adalah energi kehidupan. Dalam konteks ini Jalaludin Rumi (1207-1273) dengan tepat menggambarkan “berpasangan kamu diciptakan, dan selamanya akan tetap berpasangan. Bahkan tatkala maut merenggut hidupmu. Cinta yang tulus bagai hujan yang turun lalu menyebar ke bumi………….”

Sedangkan secara sosiologis, karena orang hidup dalam masyarakat, orang harus mentaati aturan-aturan yang ada dalam masyarakat untuk mendapat pengakuan social. Tanpa ada kekhawatiran, tanpa takut tidak diakui oleh masyarakat tentang masa depan hubungan itu, terlebih hokum kita masih belum bisa membenarkan hubungan laki-laki dan perempuan yang tanpa komitmen

Sehingga sakinah dalam konteks ini tidak diartikan kecuali menggambarkan perasaan yang tentram setelah kendala-kendala psikologis dan sosiologis terlewati, tak ada kekhawatiran bahwa akan ada perbuatan beban dosa dalam menjalani hubungan serta memikul tanggung jawab (yang tentunya harus di konkrit dalam bentuk hokum yang adil)

Sementara kata mahabbah berasal dari kata hub yang berarti cinta yaitu rasa sayang bercampur nafsu, Mahabbah adalah perasaan kasih terhadap manusia yang terjadi secara alamiah, perasaan itulah yang membuahkan hasil bernama pengorbanan.

Dalam mahabbah ini ada rasa cemburu, rindu dan ingin memiliki, dan ketika belahan jiwa telah ditemukan kita akan mendapatkan ketentraman (sakinah) tidak lain adalah perhentian terakhir dalam perjalanan mistik seorang yang beriman dan sumber utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah kekasih Tuhan.

Mawaddah (wud) adalah rasa ketertarikan secara pribadi dari seorang laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya, cinta yang diwujudkan dalam Wud adalah cinta yang tervisualisasi. Dengan mawaddah berarti cinta yang saling berkehendak dan berkeinginan untuk saling memiliki, akan tetapi iman bukan sekedar percaya. Santo agustinus dalam salah satu dictumnya mengatakan “Res tantum cognoscitus quantum diligitur” yang artinya seseorang hanya dapat mengenal sesuatu sejauh ia mengasihinya. Tergurat jelas mengenali disini bukan dimaksudkan sekedar mengenal mental dan pikiran, keinginan dan memahami membuat mereka dapat mensikapi perbedaan secara wajar dan tidak terpaku pada kelemahan-kelemahan pasangan, mencintai membuat orang menerima pasangan secara apa adanya.

Mengenal bukan sekedar afeksi, psikomotorik terlebih kognisi. Kalau hal itu dilakukan maka hasilnya adalah budi mengikuti hati nurani dan hasilnya adalah pemahaman bathin, hal itulah yang akan mendorong orang untuk melakukan tindakan yang bermuara pada pertimbangan-pertimbangan suara hati, artinya menuju apa saja yang baik bagi sesama, atas dasar itupula bertindak tidak memperhatikan bagaimana nanti orang lain memperlakukan dan membalas cintanya “Nyawa demi terkasih adalah tindakan cinta teragung” namun tidak terhenti menjadi satu idiom dalam wajah sesungguhnya yaitu sebagai semangat dan nafas yang menghidupkan manusia dalam perjalanan rasionalnya terhadap Allah

Rahmah, kasih sayang dalam tafsir Al-Jalalaini adalah kasih sayang yang tuhan berikan kepada seluruh manusia, alam manusia diikat dalam tali kasih sayang yang sejati, maka pengertian berkorban, pamrih tidak berlaku disini.

Syarat utama dalam membangun keluarga sakinah adalah kafa’ah. Dalam buku-buku fiqh klasik, kafa’ah diterjemahkan setara, berdasarkan hadist riwayat bukhari dan muslim “nikahilah wanita, karena empat hal; ekonomi, status social, kecantikan dan agamanya. Tetapi hendaklah kamu menikahi seseorang karena agamanya” diatas. Namun, sayangnya setara selama ini dipahami dengan melulu masalahnya adalah ketika egaliter, dan salah satu merasa mendominasi pihak lainnya.

Karena banyaknya kalangan yang menaruh agama sebagai prasyarat utama. Egaliter, kafa’ah (kesetaraan) secara normative memang berarti satu aqidah atau seiman, agama disini mestinya masalahnya adalah ketika salah satu pihak ingin mendominasi pihak lainnya.

Namun secara psikologis kafa’ah berarti mata indera (cantik atau ganteng) fisik atau bisikan hati (sifat) dan belahan jiwa (love is blind). Jika merujuk pada pengertian secara harfiah tadi maka konsep keluarga sakinah juga harus berubah. Apakah Keluarga sakinah tidak mesti seagama?

Namun bukan berarti peran agama tidak dibutuhkan disitulah agama menjadi important thing but not everything. Karena Soalnya akan menjadi berubah ketika ketaatan religius dipahami sekedar kepatuhan dalam menjalankan ibadah yang bersifat vertical, antara manusia dengan tuhan. Dan, kesalehan lebih ditekankan pada aspek ritual formal, sementara aspek ritual formal itu dipahami sebagai domain yang terpisah atau kurang memiliki keterkaitan dengan persoalan kemanusiaan atau kehidupan social yang konkret.

Esensi agama sesungguhnya mengajarkan manusia mengamalkan kasih dan menjunjung tinggi rasa cinta kasih dan keadilan tanpa memandang perbedaan agama suku, etnis, bila itu tak menjasad dalam agama, maka agama hanya menjadi belenggu bagi yang dimaksudkan hokum fiqh tentang hubungan muslim dan non muslim pada prinsipnya adalah kajian mengenai bagian-bagian dari hokum islam yang mengarah pada bagaimana kaum muslim memandang agama lain, misalnya terhadap orang kristiani serta mengembangkan nilai-nilai syari’ah yang tentunya termasuk di dalamnya konsep-konsep Muamalah dan juga munakahat….